Fatwa tentang ganti rugi sangat membantu bank syariah. Praktisi perbankan syariah menyambut baik keluarnya fatwa tentang ganti rugi (ta`widh). Keberadaan fatwa tersebut membantu pengelolaan bank syariah, terutama sebagai pembelajaran bagi nasabah pembiayaan yang nakal di samping mengganti real cost atau biaya yang telah dikeluarkan oleh bank.Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia A Riawan Amin mengatakan ta`widh dikenakan kepada nasabah yang enggan memenuhi kewajiban padahal mereka mampu. Dan untuk melakukan penagihan, bank mengeluarkan biaya mulai dari administrasi hingga biaya yang besar seperti menyewa pengacara.
Sementara nasabah yang mengambil pembiayaan dalam kondisi sangat mungkin memenuhi kewajibannya.. Fatwa tersebut, akan menjadi dasar bagi perbankan untuk mengambil tindakan pembelajaran kepada nasabah yang lalai.Dengan adanya keharusan membayar ganti rugi, nasabah pasti berpikir untuk selalu melunasi kewajiban pada waktunya.

Akan berbeda jika nasabah telat membayar karena kasus force majeur. Untuk kasus ini ada ketentuan tersendiri. Ta`widh dikenakan hanya pada nasabah yang tidak membayar kewajiban karena kelalaian dan kesengajaan. karakter nasabah nakal sebetulnya tidak banyak. Namun, menurut mereka, tetap ada nasabah yang tidak menyelesaikan kewajibannya kepada bank syariah kendati mereka mampu. “Mereka tak menyelesaikan kewajiban bukan karena tidak mampu, tapi mereka enggan,” katanya.

Misalnya, mendahulukan pelunasan kepada pihak lain atau menggunakan dulu uangnya untuk kepentingan lain. Atau menggunakan modal kerja yang diberikan bank pada usaha lain sehingga usaha mereka mengalami kegagalan. Fatwa tentang ta`widh ditetapkan Kamis pekan silam. Fatwa tersebut dibuat menyusul permintaan pengelola perbankan syariah akan pentingnya pengenaan ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penagihan kepada nasabah pembiayaan yang nakal. Dengan adanya fatwa tersebut, bank dibolehkan meminta ganti rugi kepada nasabah. Ketua DSN KH Ma`ruf Amien mengatakan ongkos yang harus diganti haruslah kerugian yang real dan bukan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Karena jika berdasar time value of money, maka kategorinya mirip dengan riba sehingga tak dibolehkan.

Fatwa tentang ta`widh ini sempat tertunda. Menurut beberapa sumber, penundaan berlangsung karena para ulama dan pembuat kebijakan di Bank Indonesia keberatan dengan klausul ta`widh. Nasabah yang mengulur-ulur pembayaran sudah bisa ditindak dengan adanya fatwa MUI no 17 Tahun 2000 tentang sanksi. Berdasar fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau ta`zir. Namun besaran ta`zir tak ditetapkan melainkan dibuat berdasar kesepakatan kedua pihak. Selain itu dana ini juga tidak dijadikan pendapatan bank melainkan sebagai dana sosial. Sementara ta`widh berbeda dengan ta`zir. Dana ganti rugi akan dimasukkan dalam pos pendapatan bank. “Tidak adil rasanya jika bank sudah mengeluarkan uang untuk ongkos penagihan, tapi dana denda masuk dalam dana kebajikan,” katanya. Fatwa tentang ta`zir menjadi fatwa produk nomor 43 dari DSN MUI. Yang terakhir adalah fatwa tentang charge card dan obligasi berdasar skim ijarah. Sementara fatwa tentang multi jasa belum bisa ditetapkan karena akadnya dinilai masih rancu.

Sumber : Bank Muamalat (modifikasi)

Diposting oleh Unknown on Rabu, 11 Februari 2015
categories: edit post

0 komentar

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Followers

About

About

Blogroll

Album kenangan yang tak terlupakan

Blogger news

Blogger news

Copyright Text

Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Blog templatesFree Web Templates